
MAKASSAR INVESTIGASI.ID| Menyikapi pelaksanaan perlindungan konsumen yang seakan-akan mati suri dan tak berdaya menghadapi para pelaku usaha curang dan nakal tanpa bisa tersentuh hukum sedikitpun karena notabene mereka mempunyai banyak bekingan kuat, baik dari aparat hukum maupun dari institusi terkait, sehingga Komisi VI DPR RI baru-baru ini melakukan pertemuan Forum Diskusi guna menjawab keresahan masyakat serta Lembaga Perlindungan Konsumen yang keberadaannya antara ada dan tiada.
Forum Diskusi tersebut dilaksanakan di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar (13/11/2025) dalam rangka merampungkan Penyusunan Naskah RUU Perlindungan Konsumen yang baru untuk menggantikan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang lama.
Menurut pimpinan sidang yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Prof. DR. H.A.M. Nurdin Halid yang dihadiri oleh 6 (enam) orang Anggota Komisi VI DPR RI mengatakan bahwa diera globalisasi perdagangan bebas dunia saat ini, memang sangat diperlukan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang baru dan paripurna menggantikan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang lama sebab Undang-undang yang lama sudah tidak efektif dan efisien lagi digunakan untuk melakukan perlindungan konsumen, sehingga diharapkan Komisi VI DPR RI bukan hanya menguatkan Regulasi UUPK tapi juga menguatkan peran Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dimana dalam RUUPK tertuang bukan hanya pelaksanaan mediasi dalam upaya mengembalikan hak-hak konsumen tapi juga dapat melakukan penindakan terhadap para pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen.
Dalam Forum Diskusi RUU Perlindungan Konsumen menghadirkan Narasumber Rektor Univesitas Hasanuddin, Dekan dan Dosen Fakultas Hukum Unhas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional beserta anggota, Lembaga Perlindungan Konsumen Maspekinso yang diwakili oleh Ketua Maspekindo Mulyadi, SH, dan turut diundang dalam acara tersebut yaitu pihak pelaku usaha dalam hal ini Direktur PT. Semen Tonas (Persero), dan Direktur PT. Telkomsel (Persero).
Menurut Ketua LPKSM MASPEKINDO yang akrab dipanggil Moel bahwa permasalahan perlindungan konsumen memang belum seutuhnya dapat dilakukan secara utuh sebab regulasi yang digunakan sangat lemah dalam hal penindakan, dimana Lembaga Perlindungan Konsumen hanya didudukkan sebagai mediator dalam memediasi permasalahan para konsumen tanpa bisa melakukan penindakan secara hukum, sehingga perlu adanya Regulasi baru yang diharapkan dapat menguatkan lembaga perlindungan konsumen.
Bahwa upaya hukum dalam menjerat para pelaku usaha yang nakal tidak cukup dengan melaporkan ke aparat penegak hukum sebab hampir seluruh laporan atas perampasan unit fidusia dan penyalahgunaan kosmetik berbahaya mandek ditangan penyidik, hal itu terjadi mungkin karena dalam UU Perlindungan Konsumen belum sepenuhnya memuat pasal pidana secara utuh sebab pada kenyataannya para pelaku usaha menjual bermacam-macam produk barang/jasa yang ditawarkan kepada konsumen mulai dari produk kesehatan, Kosmetik, Kendaraan Bermotor, Alat Rumah Tangga, Pertanian, Perbankan, Properti dan lain-lain serta belum adanya MoU yang dibuat dengan institusi dan lembaga terkait.
LPKSM Maspekindo yang berdiri sejak tahun 2014 telah giat membantu masyarakat dalam sengketa konsumen guna mendapatkan haknya namun selalu terkendala oleh regulasi yang ada dalam ranah Institusi lain, sehingga untuk melakukan perlindungan konsumen secara total sangat sulit dilaksanakan.
Moel mengatakan, bahwa LPKSM Maspekindo dalam menerima pengaduan konsumen dilaksanakan secara gratis tanpa pungutan kecuali untuk kepentingan pendaftaran gugatan kepengadilan perdata, sebab kami berpendapat bahwa konsumen yang datang mengadu ke LPKSM adalah orang yang tidak mampu, jika mereka orang mampu maka sudah pasti mereka akan mencari pengacara untuk menyelesaikan masalahnya.
Dari sekian banyak pengaduan konsumen yang kami tangani mulai dari tahun 2014 sampai saat ini, jika dipresentasikan 100%, maka kebanyakan pengaduan yang masuk adalah kasus kredit kendaraan bemotor Roda dua dan Roda Empat, serta Korban skincare, namun yang mendominasi hampir 60% pengaduan konsumen adalah kredit kendaraan bermotor, dan semua pengaduan mempunyai permasalahan yang sama yaitu penarikan paksa dan perampasan dijalan oleh pihak debtcolector dan 40% lagi adalah pengaduan konsumen akibat keracunan Skincare yang mengandung bahan berbahaya seperti Mercuri, Hidroquinon dan Steroid.
Bahwa pengaduan masyarakat konsumen baik kredit kendaraan bermotor maupun pengaduan skincare berbahaya semuanya kami selesaikan dengan proses mediasi berupa ganti rugi, sesuai Pasal 4 huruf h dan Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, dan khusus skincare berbahaya kami bersama teman-teman aktivis yang tergabung dalam Forum Merah Putih Indonesia melaporkannya ke BPOM dan Aparat Kepolisian dan berhasil menjerat 3 Owner skincare yang terbukti menjual skincare yang mengandung bahan berbahaya, sebab jika hanya menggunakan LPKSM maka kami tidak yakin permasalahan tersebut dapat diproses secara hukum.
Namun masalah lain muncul karena setelah kami dapat menyelamatkan 10 sampai 30 orang konsumen, maka akan muncul 50 sampai 100 orang konsumen yang menjadi korban, sebab dalam UU Perlindungan Konsumen yang lama tidak ada satupun pasal yang memuat tentang pencegahan dan pengawasan serta penindakan terhadap pelaku usaha yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya perlindungan konsumen.
Banyaknya produk-produk skincare illegal serta maraknya penarikan kendaraan bermotor secara paksa menjadi fenomena tersendiri di Sulawesi Selatan sehingga dibutuhkan bukan hanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diperkuat tapi lembaganya pun harus perkuat dan diberikan otoritas khusus dalam melakukan penyelesaian sengketa, pengawasan, pencegahan dan penindakan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tindakan-tindakan curang dari para pelaku usaha yang nakal.
Moel menegaskan, yang tak kalah pentingnya adalah peran aktif lembaga, badan dan institusi terkait khususnya Kepolisian, BPOM dan OJK agar dapat melaksanakan pelindungan konsumen secara peripurna dan bukan untuk popularitas serta keuntungan pribadi atau lembaga semata, sehingga masyarakat tidak lagi bingung kemana harus menuntut haknya sebagai konsumen karena seluruh permasalahan dapat diselesaikan di Badan atau Lembaga Perlindungan Konsumen. Tegas Moel. (**FJ)






